Suasana MUnas Alim Ulama tahun 1983 di Situbondo. Foto: (Ist/jatim.nu.or.id)

Kembali ke Khittah NU 1926

NU Palembang Online – Dilansir dari Buku Sejarah NU Palembang, Persinggungan NU dengan kekuasaan dan politik praktis memang tak bisa dihindari. Pada Muktamar ke-19 di Palembang tahun 1952 terpilih sebagai Rois Am, K.H. A. Wahhab Hasbullah dan Ketua Tanfidziyah K.H. A.  Wahid Hasyim. Pada Muktamar itu juga menjadi momentum penting bagi NU dengan keputusan memisahkan diri dari Partai Masyumi dan setelah melalui perdebatan internal yang hangat, NU memproklamasikan diri sebagai partai politik pada tahun 1954.

“Tarik menarik kondisi sosial politik saat itu memang membuat NU terjebak dalam pusaran politik praktis dengan segala untung ruginya,” kata Profesor Abdul A’la.

Setahun kemudian, dalam pemilu 1955, Partai NU berhasil meraih suara terbesar ketiga dari 29 peserta pemilu, di bawah PNI dan Masyumi, namun di atas PKI serta PSI. Dalam pemilu 1971, NU bahkan berhasil berada diurutan ke dua, di bawah Golkar yang menikmati sejumlah fasilitas dan kemudahan dari pemerintah.

Namun menurut Profesor Abdul A’la, terjunnya NU menjadi partai politik kemudian menimbulkan sejumlah masalah.

“Realitas menunjukkan ketika terjun menjadi partai politik resmi, banyak lembaga-lembaga di NU, misanya tentang dakwah dan yang lainnya menjadi terbengkalai,” tambahnya,

Oleh karena itu di kalangan NU, menurut Prof Abdul A’la, ada semacam komitmen bahwa terlibat dalam politik praktis kurang bermanfaat untuk pengembangan visi kebangsaan dan kerakyatan NU.

Titik baliknya pada Muktamar ke-27  di Situbondo tahun 1984, dengan keputusan kembali ke Khittah 1926 sebagai organisasi keagamaan. Sejak kembali ke khittah hingga kini, NU tetap menjadi organisasi sosial keagamaan.

Dalam laman nu.or.id (2018) dijelaskan bahwa sebetulnya, gagasan untuk mengembalikan NU sebagai organisasi sosial kegamaan telah muncul sejak Muktamar ke-23 tahun 1962 di Solo. Ada dua alternatif yang ditawarkan pada waktu itu untuk mengembalikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan.

BACA JUGA:  Rapat Perdana di Kantor Baru PCNU Kota Palembang

Pertama, mengembalikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan dan menyerahkan kepada politisi NU untuk membentuk wadah baru sebagai partai politik yang menggantikan kedudukan NU.

Kedua, membentuk semacam biro politik dalam NU. Biro ini berada dalam struktur NU yang mengurusi soal-soal politik. Sedang NU sendiri sebagai organisasi sosial keagamaan bukan sebagai partai politik. Namun gagasan ini tidak mendapat tanggapan peserta Muktamar.
Seruan kembali ke Khittah 1926 muncul kembali pada tahun 1971. Kala itu Ketua Umum PBNU KH Muhammad Dahlan memandang langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara historis. Pendapat KH Muhammad Dahlan itu coba ditengahi oleh Rais Aam KH Abdul Wahab Chasbullah bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah.
Setelah seruan kembali ke khittah sempat terhenti kala itu, gema tersebut muncul lagi pada tahun 1979 ketika diselenggarakan Muktamar ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah. Seperti seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jami‟iyah diniyyah  ijtima‟iyah   dalam  Muktamar  tersebut  juga mentah. Apalagi NU sedang giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP.

Namun pada praktiknya, kelompok kritis darikalangan NU mengalami penggusuran sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut. Misi kembali ke khittah kembali nyaring ketika para ulama berkeliling mengkonsolidasikan NU Bersamaan dengan langkah para kiai tersebut, KH Achmad Siddiq menyusun tulisan komprehensif yang berisi tentang pokok-pokok pikiran tentang pemulihan Khittah NU 1926.

BACA JUGA:  KH. Abdurrahman Wahid, Perjalanan Hidup dan Pemimpin Indonesia Ke-4

Tulisan ini dirembug secara terbatas dengan para ulama sepuh dikediaman KH Masykur di Jakarta. Naskah yang ditulis oleh KH Achmad Siddiq itu mendapat sambutan dan penghargaan luar biasa karena menjadi konsep dasar kembali ke khittah saat diselenggarakannya Munas NU tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur.

Setahun sebelum digelarnya Muktamar  ke-27, NU di tempat yang sama, Pesantren Salafiyah Syafi‟iyah Situbondo. Kemudian naskah ini menjadi dokumen resmi Munas sebagai dasar merumuskan Khittah Nahdliyah. KH Achmad Siddiq menegaskan bahwa Khittah NU tidak dirumuskan  berdasarkan teori yang ada, tetapi berdasarkan pengalaman yang sudah berjalan di NU selama berpuluh-puluh tahun lamanya.

Tujuan kembali ke khittah juga selain mengembalikan organisasi pada rel awal pendirian organisasi, kepentingan bangsa dalam setiap keputusan organisasi juga dijunjung tinggi karena pokok pikiran dalam rumusan khittah memuat unsur keagamaan, sosial-kemasyarakatan, kebangsaan, kepemimpinan ulama, dan keindonesiaan.

Naskah Khittah Nahdliyah KH Achmad Siddiq kemudian dioperasionalkan dan merumuskan perangkat kelembagaan yang dilakukan oleh para aktivis NU di antaranya  KH  Abdurrahman  Wahid (Gus Dur) dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus). Bersama para aktivis lain, seperti  H.  Mahbub Djunaidi, Fahmi D. Saifuddin, dan lain-lain, Gus Dur dan Gus Mus juga merumuskan naskah hubungan Islam dengan Pancasila pada momen Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur itu yang bersumber dari pemikiran dan pandangan KH Achmad Siddiq  dan para kiai sepuh lain.

Khittah NU adalah landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga NU (Nahdliyin) yang harus dicerminkan dalam tingkah-laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap pengambilan keputusan. Definisi ini  tertuang dalam Naskah Khittah NU poin kedua yang disusun Abdul Mun‟im DZ dalam bukunya Piagam Perjuangan Kebangsaan (2011).

BACA JUGA:  Harlah Ke-68, Sarbumusi Tegaskan Tidak Terlibat dalam Politik Praktis

Naskah khittah yang dirumuskan oleh KH Achmad Siddiq dibantu oleh beberapa kiai lain menjadi tonggak kembalinya NU  dalam  rel perjuangan seperti cita-cita organisasi pada awal didirikan, yakni dakwah keagamaan dan sosial- kemasyarakatan (jam‟iyyah diniyyah  ijtima‟iyyah), bukan melanggengkan politik praktis. Apalagi memanfaatkan organisasi untuk tujuan politik tersebut.
Menurut kesaksian Gus Mus, gagasan kembali ke Khittah NU 1926 baru bisa diputuskan berkat pikiran- pikiran brilian sekaligus pribadi-pribadi bersih penuh kharisma dari kedua tokoh besar, KH Achmad Siddiq dan Gus Dur. Pandangan kebangsaan kedua tokoh tersebut dan didukung oleh para kiai lain mampu membawa NU ke rel yang sesungguhnya.

Bagi NU yang sudah kembali menjadi organisasi sosial keagamaam dan kemasyarakatan ini, politik hanya instrumen atau alat mencapai tujuan kemaslahatan bangsa dan negara. Sebab itu, politik yang dipraktikkan NU secara organisasi adalah politik kebangsaan, politik keumatan, politik kerakyatakan, dan politik yang penuh dengan etika. Bukan politik praktis yang berorientasi kekuasaan semata dengan menghalalkan semua cara. Praktik politik seperti itulah yang digagas oleh KH.  MA  Sahal  Mahfudh (2013) sebagai  siyasah „aliyah  samiyah  (politik tingkat tinggi), bukan politik tingkat rendah (siyasah safilah).

Menurut Kiai Sahal Mahfudh, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah adalah porsi partai politik bagi warga negara,  termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan  NU sebagai lembaga atau organisasi, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi, yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik.

Check Also

Sowan ke Ketua PCNU Palembang, PMII UIN Raden Fatah Minta Kiai Hendra Berikan Materi Aswaja di Mapaba

NU Palembang Online – Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PK PMII) komisariat UIN Raden …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *