KH Wahab Chasbullah dalam sebuah forum NU.(Foto: Dok. Perpustakaan PBNU/nu.or.id)

Muktamar Nahdlatul Ulama 1928

NU Palembang Online – Dilansir dari Buku Sejarah NU Palembang, Latar belakang berdirinya Ulama (Nahdlatoel Oelama) atau biasa disingkat NU pada 31Januari 1926 berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924 di Arab Saudi sedang terjadi arus pembaharuan (purifikasi) di mana Raja Hijaz (Mekkah), Syarif Husein, yang berpaham Sunni ditaklukan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi.

Pada tahun 1924 juga, di Indonesia K.H Wahab Chasbullah mulai memberikan gagasannya pada K.H. Hasyim Asyari untuk perlunya didirikan NU. Sampai dua tahun kemudian pada tahun 1926 baru diizinkan untuk mengumpulkan para ulama untuk mendirikan NU.

Selain itu, NU lahir atas semangat menegakkan dan mempertahankan agama Allah di Nusantara dan meneruskan perjuangan Walisongo. Terlebih Belanda- Portugal tidak hanya menjajah Nusantara, tetapi juga menyebarkan agama Kristen-Katolik dengan sangat gencarnya. Mereka membawa para misionaris- misionaris Kristiani ke berbagai wilayah.

Karena itu, NU lahir karena niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni “Kebangkitan Para Ulama”.

NU yang dipimpin Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sangat nasionalis. Sebelum RI merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya. Tapi, kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis.

BACA JUGA:  Kiai Hendra Hadiahkan Rois Syuriah MWC dan Ketua Ranting Baju Seragam NU

NU merupakan organisasi sosial keagamaan Islam47 terbesar di masa Hindia-Belanda di mana Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dibagi dua badan yaitu; Syuriah (Badan Keulamaan) dan Tanfidziyah (Badan Eksekutif) yang dipimpin oleh sebagian besar beranggotakan saudagar dan pengusaha kecil.

Pada masa awal, Syuriah  diketuai oleh Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan diberi gelar Rais Akbar48 (Ketua Tertinggi), Ahmad Dahlan (Ahyad) sebagai Wakil Ketua, KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai Sekretaris, dan para anggota yang sebagian besar berasal dari Jawa Timur.

Lahirnya NU bertujuan sangat mulia, yaitu berpegang teguh pada satu madzhab dari empat madzhab. Secara langsung NU menolak Islam modernis yang berpandangan akan kebebasan memilih dan mencampur empat madzhab tersebut

Sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan NU mencoba memberikan pelayanan-pelayanan dalam bidang pembangunan madrasah, memberikan pelayanan yang baik terhadap anak yatim dan orang miskin, meningkatkan perekonomian mereka, merawat buku-buku pelajaran yang sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama‟ah, bukan dengan prinsip-prinsip ahli bid‟ah.

Pada masa sebelum kemerdekaan, organisasi NU berkembang sangat pesat. Hal ini terlihat dari setiap muktamar yang diadakan. Contohnya, pada tahun 1926, Muktamar pertama NU yang dihadiri 96 kiai, Muktamar kedua tahun 1927 dihadiri oleh 146 kiai dan 242 peserta.

BACA JUGA:  Pondok Pesantren Aulia Cendekia Ikuti Apel Nasional Hari Santri 2023

Selanjutnya pada tahun 1928, Muktamar yang dihadiri oleh 260 kiai dan 35 cabang yang telah dibentuk. Pada tahun 1929, NU memiliki 63 cabang dan 1.450 peserta dan peninjau dihadirkan oleh NU dan pada tahun 1933, anggotanya diperkirakan telah mencapai 40.000. Kemudian pada tahun 1935, jumlah anggotanya makin bertambah mencapai 67.000 orang yang telah tersebar di 76 cabang dan tahun 1938, NU memiliki 99 cabang terdaftar dengan jumlah anggotanya 100.000. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, NU sudah memiliki 120 cabang, Jawa Timur dan Madura, sepanjang pantai utara Jawa Tengah, serta di wilayah Cirebon dan Banten, Jawa Barat. Demikian pula di luar Jawa, telah terbentuk di Sumatera dan Kalimantan.

Nuansa kebesaran NU mulai terasa sejak Muktamar ketiga yang diselenggarakan di Hotel Muslimin, Peneleh, Surabaya pada 23-24 Rabiul Akhir 1347 H atau bertepatan dengan bulan September 1928 atau sekitar sebulan sebelum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Pada Muktamar ketiga ini merupakan momentum penataan organisasi. Pada Sidang I, Rois Akbar, Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari membacakan khutbah iftitah yang kemudian dikenal dengan Qanun Asasi NU.

BACA JUGA:  Kiat-Kiat Mencegah Krisis Air Menurut LPBI PBNU

Hal penting lainnya yang perlu dicatat dari Muktamar NU ketiga ini adalah kegairahan NU untuk mensosialisasikan faham ahlussunnah wal jama‟ah  ke seluruh pelosok daerah. Untuk keperluan itu Forum Muktamar sepakat membentuk Lajnah Nasihin, yakni sebuah badan ad hoc yang mempunyai tugas khusus yang beranggotakan sembilan  ulama, yaitu; Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Syansuri (Jombang), KH. Raden Asnawi (Kudus), KH. Ma‟sum (Rembang), KH. Mas Alwi, KH. Abdul Wahab Chasbullah (Surabaya), KH. Mustain (Tuban), KH. Abdullah (Cirebon), dan Kiai A. Halim.

Peran keagamaan NU sebenarnya semakin menguat di tengah kebutuhan masyarakat muslim semenjak Muktamar pertama. Dengan semakin intensifnya NU dengan semua lapisan masyarakat paling bawah menghadapkan NU pada persoalan kemasyarakatan. Pada tahap ini, NU tidak bisa lagi melepaskan diri dari berbagai problematika sosial masyarakat pedesaan. Wacana yang diusung NU pun tidak lagi dimonopoli oleh persoalan keagamaan an sich, tetapi juga masalah ekonomi, sosial dan budaya, politik, dan sebagainya.

Check Also

KOPZIPS Ziarahi Para Ketua MUI Sumsel dari Masa ke Masa

NU Palembang Online – Komunitas Pecinta Ziarah Palembang Darussalam dan Sumatera Selatan (KOPZIPS) melanjutkan tradisi …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *