NU Palembang Online – Setiap memasuki bulan Desember rakyat Indonesia khususnya warga Nahdliyin tidak pernah lupa dengan peristiwa wafatnya sosok Presiden Republik Indonesia ke-4 KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa dengan panggilan Gus Dur. Sosok ulama yang lahir pada tanggal 9 September 1940 dan wafat pada tanggal 30 Desember 2009 tersebut mempunyai memori indah yang sangat terasa bagi rakyat Indonesia. Meskipun beliau tidak lama menjadi presiden karena dilesengerkan oleh “Musuh Politiknya” tetapi mewarisi legacy tentang nilai-nilai kebangsaan yang luar biasa.
Sehingga saat wafatnya tidak hanya umat Islam baik dari kalangan NU dan lainnya yang merasa kehilangan sosok Gus Dur melainkan hampir seluruh umat Non Muslim di Indonesia merasa kehilangan sosok ulama yang mewarisi ilmu dan kasih sayang kepada semua makhluk tanpa terkecuali seperti yang dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad Saw.
Sosok Gus Dur sendiri merupakan anak dari pahlawan nasional KH. Wahid Hasyim (Anggota BPUPKI) dan cucu dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang juga merupakan pahlawan nasional pendiri Nahdlatul Ulama dan pencetus “Resolusi Jihad NU” pada tanggal 22 Oktober 1945 yang menjadi pemicu bangkitnya gerakan perlawanan kaum santri dengan dasar ”Cinta tanah air sebagian daripada iman” terhadap sekutu yang diboncengi oleh Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Maka tidak heran jika sosok Gus Dur menjadi pemersatu bangsa di era kemerdekaan dikarenakan latar belakang keluarganya yang juga merupakan pemersatu bangsa di era penjajahan Belanda dan Jepang.
Gus Dur senantiasa menggunakan istilah etika terapan dengan etika sosial yang berpedoman pada sumber ajaran Islam, baik al-Qur’an dan hadis, kaidah ushul fiqh, maupun ajaran tasawuf. Sehingga dalam menyelesaikan setiap problematika kebangsaan dengan mengimplementasikan antara nilai-nilai etika sosial dan nilai-nilai kebangsaan yang kesemuanya membicarakan mengenai kemashlahatan kehidupan kebangsaan yang harmoni.
Pemikiran dan gerakan Gus Dur yang terkenal membela kaum lemah dari segala kalangan serta pembelaannya terhadap hak asasi manusia (HAM) terhadap kaum minoritas beragama selain Islam, terutama konsep pemikiram Gus Dur yang sangat menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama dan anti terhadap otoriterianisme.
Hal tersebut justru membuat dunia barat yang terkenal dengan anti-Islam justru terheran-heran tatkala ketika mereka melihat pemimpin umat beragama yang menjadi kepala Negara dan kepala pemerintah di era Modern justru menunjukkan makna Islam sejati seperti ajaran Rasulullah Saw yakni Rahmatan Lil Alamin (Rahmat bagi alam semesta).
Sehingga dunia barat yang awalnya anti terhadap Islam menjadi takjub dengan konsep kebangsaan yang dianut oleh Gus Dur dengan sering mengutip beberapa ayat al-Qur’an, hadits, hikmah, dan beberapa kaidah dalam rangka elaborasi Islam Wasthiyah yang merupakan konsep yang bersumber pada Surah Al-Baqarah ayat 143:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam); umat pertengahan (yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”.
Wasathiyah berasal dari akar kata “wasatha”. Menurut Muhammad bin Mukrim bin Mandhur al-Afriqy al-Mashry, pengertian wasathiyah secara etimologi berarti:
وَسَطُ الشَّيْءِ مَا بَيْنَ طَرْفَيْهِ
Artinya: “sesuatu yang berada (di tengah) di antara dua sisi. Maka konsep ini adalah berada pada tengah-tengah, yakni tidak tergolong atau condong pada kelompok ekstrem kanan (tatharruf yamini) dan ekstrem kiri (yasari). Baik kalangan liberal dan kalangan konservatif.
Menariknya, Gus Dur selalu memberikan penjelasan secara logis dan mendalam atas kutipan dalil yang dipakainya, meski tak jarang tanpa menyebut sumber rujukannya. Sehingga dunia barat seolah-olah seperti disiram air dingin yang mensejukkan ketika mengenal konsep kebangsaan yang diajarkan oleh Gus Dur yang sebenarnta itulah ajaran Islam dengan penuh kasih sayang dan cinta kepada sesama. Dari sisi kemanusiaan, KH. Abdurrahman Wahid adalah sosok yang kukuh mendukung kemerdekaan setiap individu untuk dapat menentukan pilihan dan pendiriannya sebagai seorang warga Negara yang sadar dan sekaligus menghormati perbedaan dan kemajemukan Indonesia.
Gus Dur adalah seorang Humanis tulen yang demokratis. Ia berkeyakian bahwa Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah Islam yang damai dan membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin). Hingga dalam bidang politik, rahmat dari Islam haruslah dapat dirasakan dan dinikmati oleh seluruh pihak. Sehingga dalam pengantar buku berjudul Tradisionalisme Radikal (1997) karya Greg Fealy, Gus Dur dengan tegas berpendapat, bahwa tidak ada monopoli kebenaran politik, sebab kebenaran adalah proses dialektika yang terjadi dari kebebasan berpikir dan berkehendak setiap manusia.
Salah satu nilai humanisme yang dikukuhkan Gus Dur adalah sikap saling menghormati, sebab setiap manusia haruslah dihormati apapun latar belakang agama, suku, bahasa dan profesinya. Saling menghormati juga berarti memuliakan orang lain dengan tidak menjatuhkan atau merendahkannya demi meraih sesuatu. Sebagaimana Rasulullah SAW dalam Haji Wada’, menyampaikan pesan humanisme yang juga menjadi salah satu tujuan dari syariat Islam, yaitu menjaga martabat (dignity) manusia.
Menurut pandangan penulis Gus Dur hanya ingin semua manusia tetap dihargai sebagai manusia seutuhnya adapun mengenai keimanan tetap semua orang mempunyai ranah privat yang tidak boleh dicampuri urusan keimanannya kepada Tuhan yang maha esa. Konsep ini sebenarnya menekankan kepada manusia agar penghambaan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala yang paling utama ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara adalah bagaimana menghargai sesama makhluk ciptaan Allah dan mengenalkan Islam dengan akhlak mulia sebagaimana ajaran Rasulullah Saw. Maka itu adalah anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi bangsa Indonesia dan peradaban dunia. Al-Fatiha…
Penulis : Kgs. M. Ilham Akbar, SH (Tokoh Muda NU Palembang)