Muktamar ke-19 NU di Palembang, 26-30 April 1952. Foto : (Ist/Facebook/Galeri Nahdlatul Ulama)

Muktamar NU ke-19 di Palembang

NU Palembang Online – Dilansir dari buku Sejarah NU Palembang, Kiprah dan kontribusi politik NU di Indonesia bermula dari Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama dengan Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Sarekat Islam (SI). Sejak saat itu. Nu terlibat dalam permasalahan-permasalahan.pol yang terjadi, Namun eksistensi dari MIAI sendiri kurang terlihat oleh publik, sehingga tidak berlangsung lama, akhirnya MIAI membubarkan diri pada bulan Oktober tahun 1943 M dan digantikan oleh Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia).

Keluarnya maklumat dari pemerintah Indonesia pada tanggal 03 November 1945 untuk mendirikan partai politik, Masyumi yang merupakan pergantian dari MIAI bergegas melakukan muktamar dan menyetujui bahwasannya Masyumi resmi menjadi partai politik pada tanggal 08 November 1945 lahir dari rahim proklamasi Indonesia dan NU hanya sebagai pendukung yang mengikuti kegiatan-kegiatan politik yang dilakukan oleh Masyumi.

Selanjutnya, pada tahun 1952, NU menyatakan keluar dari partai Masyumi disebabkan kurangnya akomodasi kepentingan dan keinginan NU oleh Masyumi. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, rasa tidak nyaman dalam Masyumi setelah terjadinya Muktamar ke-6 di Yogyakarta menghasilkan perubahan yang tidak signifikan dengan berubahnya status Majelis Syuro menjadi Badan Penasehat, NU merasa kedudukannya sudah tidak dipentingkan dan patut untuk dipertimbangkan kembali oleh NU sendiri dalam menjalankan kebijakan-kebijakan politik yang dilakukan Masyumi. Kedua, tidak terpenuhinya keinginan NU untuk mendapatkan jabatan sebagai Menteri Agama.

Dua hal ini sebagai pemicu awal untuk keluarnya NU dari Masyumi dan membuat NU merasa sangat kecewa terhadap Masyumi, PBNU mengadakan rapat besar pada tanggal 5 April 1952 M di Surabaya dan memutuskan untuk mengeluarkan NU dari Masyumi dalam menjalankan kebijakan-kebijakan politik

Hasil dari rapat PBNU ini diperkuat ketika Muktamar ke-19 di Palembang pada 28 April-1 Mei 1952. Pada Muktamar ke- 19 di Palembang tahun 1952 terpilih sebagai Rois Am, K.H. A. Wahhab Hasbullah dan Ketua Tanfidziyah K.H. A. Wahid Hasyim. Pada Muktamar itu juga menjadi momentum penting bagi NU dengan keputusan memisahkan diri dari Masyumi dan setelah melalui perdebatan internal yang hangat, NU menyatakan diri secara resmi sebagai partai politik pada tahun 1954.

“Tarik menarik kondisi sosial politik saat itu memang membuat NU terjebak dalam pusaran politik praktis dengan segala untung ruginya,” kata Profesor Abdul A’la.

Keputusan itu diambil melalui pemungutan suara dengan hasil suara 61 suara setuju, 9 suara menolak, dan 7 abstain atau tidak sah dalam pengambilan hak suara. Dari hasil pemungutan suara yang telah dilaksanakan dengan suara terbanyak 61 setuju dengan keluarnya NU dari Masyumi. Akhirnya NU menyatakan sikap secara resmi memisahkan diri dari Masyumi pada Muktamar ke-19 di Palembang.

BACA JUGA:  KOPZIPS Ziarahi Makam Guru Kyai Marogan

Dalam bukunya, K.H. Saifuddin Zuhri mengungkapkan (meski tidak dijelaskan siapa tokoh yang dimaksud) ada seorang yang menduduki rangking kedua jajaran kepemimpinan Masyumi memberi keterangan pers menjelang muktamar, “tidak boleh tidak NU adalah golongan ekstrem kanan, dan kalau NU menguasai pemerintahan akan menuju kepada diktator”. Pernyataan ini tentu saja membuat keadaan semakin tegang dan tidak menjernihkan, bahkan banyak menimbulkan antipati dari peserta muktamar

Meski demikian, NU masih tetap menjaga keadaan agar tetap kondusif. Dalam Teks Putusan Muktamar NU ke-19 itu disebutkan dua poin penting yakni a). Menyetujui utusan PBNU tanggal 5-6 April 1952, bahwa NU secara organisatoris memisahkan diri dari Masyumi, serta mengusulkan pada Masyumi agar mereorganisasi dirinya menjadi badan federatif. b). Menyetujui garis-garis besar yang dimajukan PBNU untuk melaksanakan putusan tadi yang terdiri dari tiga pokok: Pertama, pelaksanaan putusan tersebut janganlah menimbulkan shock (keguncangan) di kalangan umat Islam Indonesia; Kedua, pelaksanaan putusan tersebut dilakukan dengan perundingan dengan Masyumi dan Ketiga, putusan ini dijalankan di dalam hubungan luas berkenaan dengan keinginan membentuk Dewan Pimpinan Umat Islam Indonesia yang nilainya lebih tinggi, di mana partai-partai dan organisasi-organisasi Islam, baik yang sudah maupun yang belum tergabung di dalam Masyumi dapat berkumpul dan berjuang bersama-sama.

Dari putusan ini nampak jelas bagaimana sikap dan etika berpolitik (organisasi) NU yang masih mempertimbangkan berbagai hal, meski telah mengambil keputusan untuk keluar dari Masyumi. Sikap dan etika politik ini tentu menunjukkan kedewasaan NU dalam berpolitik, kendati NU belum menjadi sebuah partai politik.

Setelah memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 NU memutuskan untuk menjadi partai politik secara sah dan mengikuti pemilu pertama pada tahun 1955, NU mengukir sejarah dalam kancah politik nasional, berhasil memperoleh suara yang besar dan mendapatkan 45 kursi di parlemen. Dengan peluang ini, NU semakin jauh memasuki ranah perpolitikan di Indonesia dan tidak hanya menjadi ormas Islam saja akan tetapi menjadi organisasi politik atau partai politik yang besar.

Setahun kemudian, dalam pemilu 1955, Partai NU berhasil meraih suara terbesar ketiga dari 29 peserta pemilu, di bawah PNI dan Masyumi, namun di atas PKI serta PSI. Dalam pemilu 1971, NU bahkan berhasil berada diurutan ke dua, di bawah Golkar yang menikmati sejumlah fasilitas dan kemudahan dari pemerintah.

Berdirinya partai NU tidak hanya berimbas pada konstelasi politik nasional, tetapi juga berdampak pada peta politik NU di Palembang. Ketika NU dan Masyumi “talak tiga”, tidak sedikit politisi NU yang mulai “gamang”, apakah pindah ke partai NU atau tetap di partai Masyumi.

BACA JUGA:  PCNU Palembang Beri Penghargaan Tokoh Muda NU Palembang

Di antara tokoh NU yang terpilih menjadi anggota Konstituante Wilayah Sumsel pada saat Pemilihan Umum 1955 yang masih memilih partai Masyumi adalah KH. Abubakar Bastari dari Dapil Palembang. Sedangkan dari partai NU adalah Abdullah Gathmyr dan Kiagus H. Moh Sjadjari dari Dapil Palembang juga dari partai NU.

Adapun hasil-hasil Pemilu 1955, anggota parlemen DPR dari Provinsi Sumatera Selatan, baik untuk Dewan Perwakilan Rakyat maupun Konstituante adalah sebagai berikut:

Berdasarkan laporan pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 1955 jumlah pemilih aktif untuk pemilihan DPR terdaftar sebanyak 1.731.332 orang. Mata pilih yang dating ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di Sumatera Selatan sebesar 1.527.876 orang hak pilih untuk DPR. Sementara pada waktu perhitungan suara, tercatat suara sah sebanyak 1.417.104 berbanding suara tidak sah hanya sebanyak 70.772 Selanjutnya terdapat jumlah kursi untuk DPR perwakilan Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 10 kursi. Jumlah 10 kursi merupakan pembagian kiesquotient untuk Sumatera Selatan yang termasuk pemilihan daerah V dengan pembagian 1 kursi tiap 145.710 pendudukan Provinsi Sumatera Selatan.

Untuk pemilihan anggota Konstituante pada wilayah Sumatera Selatan saat Pemilihan Umum 1955 dengan hasil sebagai berikut, sebagai berikut:

Berdasarkan rekapitulasi perhitungan suara, jumlah kursi yang didapat Provinsi Sumatera Selatan dalam Pemilihan Umum Tahun 1955 sebanyak 9 kursi. Masing-masing pembagian kursi untuk: Masyumi (4 kursi), Partai Nasional Indonesia (2 kursi). Sedangkan Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) masing- masing 1 kursi.81

Pemilihan Umum 1955 telah mengantarkan 9 orang legislator dari Sumatera Selatan, yakni: K. H. Tjikwan, K. H. Masyhur Azhari, Djadil Abdullah dan Raden Abdul Basjid dari Masyumi, Dr. M. Isa dan Abdul Rozak dari PNI, Noengtjik AR dari PKI, Anwar Tjokroaminoto dari PSII, dan Abdullah Gathmyr dari NU. Hasil perolehan suara partai peserta Pemilihan Umum 1955 di Sumatera Selatan, sebagai berikut:

Berdasarkan tabel di atas Partai NU di Sumsel pada pemilihan umum 1955 memperoleh suara untuk DPR sebanyak 11.938 dan untuk Konstituante meraih suara 135.985. Berdasar hasil Pemilihan Umum 1955 juga dibentuk Dewan Pemerintah  Daerah (DPD) Provinsi Sumatera Selatan yangbterdiri dari: 1). M. Ali Chanafiah dari Bengkulu, 2). R. Sutarjo dari Palembang, 3). M. Taher Hasan dari Lampung, 4). Zamhari Abidin dat Palembang, dan 5). Zaikadir dari Palembang,

Pada tanggal 24 September 1956, bertempat di Balai Pertemuan Sekanak Palembang, dilangsungkan upacara pelantikan DPRD Peralihan dan pembubaran DPRDS Propinsi Sumatera Selatan. Upacara ini dihadiri oleh Djanuismadi dan Manoppo masing-masing Gubernur dan Residen yang diperbantukan pada Kementerian Dalam Negeri sebagai wakil Menteri Dalam Negeri. Pelantikan dilakukan oleh Pejabat Gubernur Sumatera Selatan, Daudsyah, selaku wakil Pemerintah Pusat.

BACA JUGA:  Raih Penghargaan Lintas Politika Award 2023, Ketua PC NU Palembang Bangga Atas Capaian Kadernya

Menurut Irwanto dan Oskandar susunan DPRD Peralihan tersebut adalah Masyumi 17 Kursi: 1. H. Utih, 2. H. Z. Arifin, 3. M. Syazali, 4. Mahdani Caropeboka, 5. A. Najamuddin HD, 6. A. R. Djalili, 7. Syamsuddin, 8. Zamhari Abidin, 9. H. Mursal Azis, 10. Ny. Djawanis Umar, 11. M. Jahja Agus, 12. M. P. Abubakar, 13. Siradj S. Ishak, 14. M. Diah, 15. Umar-Abd Hamid, 16. Husin, dan 17. Siddiq Adim.

PNI 6 Kursi yakni 1. Jatim Muntjar, 2. S. Panhar, 3. Α. Nawawi Saleh, 4. Am. Ali, 5. Mohpian Caropeboka, 6. Rahim Kasim. PKI 5 Kursi yaitu 1. Zaikadir, 2. Busjari Latief, 3. Abdullah, 4. P. Simanjuntak, 5. Murod Aidit.

PSII 4 kursi yakni 1. Rauf Ali, 2. Idris Baksin, 3. Harunur Rasyid, 4 Julia Usman Gani. NU 3 kursi yakni 1. M. Husin Gani, 2. Siti Aminah Mustofa, dan 3. Jusuf Umar. Semntara IPKI 1 kursi Zainal Abidin Ning dan PSI 1 kursi Amir Husin. Demikian juga GTI 1 kursi Yusuf Temenggung. Perti 1 kursi R. A. Adjmi. Partai Buruh 1 kursi Arfani Bachtiar.

Total ada 40 orang. Ketua DPRD Peralihan adalah Siddiq Adim (Masyumi) dengan wakil Ketua Jatim Muntjar (PNI). Adik sebagai Dewan Pemerintahan Daerah Peralihan yakni 1. Zamhari Abidin (Masyumi), 2. Umar Abd Hamid (Masyumi), 3.5. Panhar (PNI), 4, Zaikadir (PKI) dan 5. Rauf Ali (PSII).

Sebagai catatan dari pelaksanaan Pemilu 1955 untuk DPR tersebut jumlah pemilih yang terdaftar sebesar 1.731.332 orang, yang melaksanakan hak pilihnya untuk DPR 1.527 876 orang. Suara yang sah 1.417.104 dan suara yang tidak sah sebanyak 70.772. Kiesquotient Daerah V Sumsel 145.710. jumlah kursi yang harus dibagi untuk DPR sebanyak 10 kursi.

Jumlah kursi yang dapat dibagi menurut hasil Pemilu 1955, adalah 7 kursi, masing-masing untuk: PNI 1 kursi, PSII 1 kursi, PKI 1 kursi dan Masyumi 4 kursi. Sisa kursi 3 buah dan kelebihan suara 437.134. Untuk anggota Parlemen yang mewakili Sumatera Selatan sebelum Pemilu 1955 adalah dari Masyumi yakni K. H. Tjikwan, K. H. Masyhur Azhari, dan Djadil Abdullah. Dari PNI yakni Dr. M. Isa dan Abdul Rozak. Dari PKI Nungtjik AR. Dari PSII Anwar Tjokroaminoto dan dari NU Abdullah Gathmyr.

Check Also

Sowan ke Ketua PCNU Palembang, PMII UIN Raden Fatah Minta Kiai Hendra Berikan Materi Aswaja di Mapaba

NU Palembang Online – Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PK PMII) komisariat UIN Raden …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *