Perintis Nahdlatul Ulama Palembang, Kemas Haji Abdullah Azhary (Ki Pedatuan). Foto : (Ist/buku sejarah NU Palembang)

Perintis Berdirinya Nahdlatul Ulama di Palembang

NU Palembang Online – Dilansir dari buku Sejarah NU Palembang, Menurut Peeters, MPII dianggap “gagal” menyelesaikan berbagai masalah khilafiyah antara Kaum Tuo dan Kaum Mudo di Palembang. Di sisi lain, di Mekkah, Zawiyah Sammaniyah “diberangus” oleh penguasa Arab Saudi yang berhaluan Wahabisme, sehingga terpaksa pulang ke Palembang.

Pada saat yang hampir bersamaan ada ulama yang paling sepuh dan sangat alim  di Palembang, yaitu Kemas Haji Abdullah Azhary lahir di Kampung Pedatuan 12 Ulu Palembang, sehingga lebih dikenal sebagai Ki Pedatuan. Ia mendengar kabar bahwa sahabatnya di Jawa yakni Hadratus Syaikh Hasyim Asy‟ari mendirikan pergerakan untuk membentengi paham reformis yang dikenal dengan nama Nahdlatul Ulama (NU).

Begitu ada informasi sahabatnya, Hadratus Syaikh Hasyim Asy‟ari, ingin mendirikan organisasi NU, maka ketika Muktamar NU pertama diadakan pada pada 21 Oktober 1926 di Surabaya, Jawa Timur, sudah ada ulama Palembang yang mengikuti muktamar tersebut, yaitu Kemas Haji Abdullah Azhary (Ki Pedatuan). Kehadiran Kemas Haji Abdullah Azhary pada saat muktamar tersebut kemungkinan difasilitasi oleh dua tokoh penting yang memang pengusaha dibidang perkapalan, yakni; Sayyid Abdullah Alkaf Gathmyr dan Sayyid Ali Gathmyr.

Dengan adanya Muktamar NU itu terlihat bahwa sudah sejak lama terdapat jaringan ulama Palembang dengan ulama yang ada di Pulau Jawa. Pun, setelah mengikuti Muktamar NU pertama itulah,  tampaknya di Palembang juga dibentuk cabang atau konsul NU Palembang.

Kemas Haji Abdullah Azhary kemudian memanggil muridnya dari kalangan Alawiyin, yaitu Sayyid Muhammad Salim al-Kaff untuk dijadikan sebagai ketua NU cabang Palembang dan peristiwa bersejarah ini terjadi pada 31 Juni 1934. Untuk susunan pengurus lainnya didominasi oleh elite priyai dan mantri yang mencerminkan hierarki tradisional dalam masyarakat Palembang, memberikan ciri konservatif NU.

Sosok Kemas Haji Abdullah Azhary sebagai kiai sepuh tarekat Sammaniyah dan memiliki hubungan yang akrab dengan Sayyid Muhammad Salim Alkaf selaku pimpinan cabang NU, turut juga menentukan wajah NU di Kota Palembang. Meskipun, Kemas Haji Abdullah Azhary secara legal standing tidak termasuk dalam struktur kepengurusan organisasi NU, tetapi ia kemungkinan besar sebagai konsul PBNU di wilayah Palembang dan berperan penting sebagai “king maker” atau tokoh utama yang berada dibelakang layar (behind the scenes) berdirinya NU Palembang  hingga ia wafat sekitar tahun 1938 di usia 84 tahun.

BACA JUGA:  PT. Bank Panin Dubai Syariah Jajaki Kerjasama Dengan PCNU Palembang

Pada saat Muktamar ketiga yang juga diselenggarakan di Surabaya pada tahun 1928, menurut Aboebakar Atjeh (1957:483), Safrizal Rambe, dan Heru Sukadri telah hadir utusan atau perwakilan (konsul) cabang NU dari Palembang, yaitu Kiai Abubakar dan Sayyid Abdullah Alkaf  Gathmyr. Kiai Abubakar dikenal ulama besar ahli  ilmu  fiqh, ilmu hadits, ilmu tafsir dan ilmu falak, yang mempunyai ribuan pengikut.

Kemungkinan besar Kiai Haji Abubakar yang dimaksudkan ketiga penulis di atas adalah Kiai Haji Abubakar Bastari (1898-1971). Pada Muktamar NU ketiga di Surabaya (1928) Kiai Haji Abu Bakar Bastari menjabat sebagai   Ketua   Syari‟ NU Palembang (1930-1935). Sedangkan Sayyid Abdullah Alkaf Gathmyr, selain sebagai keturunan haba‟ib juga seorang pengusaha perkapalan yang aktif di organisasi NU.

Bila melihat kronologis sejarah sejak polemik masalah khilafiyah tahun 1929 sampai terbentuknya NU pada 1934 di Palembang, maka dapat dikatakan bahwa NU di kota Palembang mulai tumbuh subur di kalangan masyarakat perkotaan. Sebab kondisi kota Palembang pada sekitar tahun 1929, telah menjadi pusat kota di mana pemerintah Belanda kala itu sudah membangun kantor komisaris dan gedung dewan, pusat pemerintahan, administrasi dan ekonomi Belanda.

Pertumbuhan dan perkembangan NU di Pulau Jawa yang berbasis di daerah pedesaan dan pondok pesantren. Ternyata, kondisi demikian bertolak belakang dengan pertumbuhan dan perkembangan cabang NU di Palembang tahun 1934. Pada saat itu, kota Palembang sudah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan. Dari pusat kota Palembang atau disebut Iliran inilah organisasi NU selanjutnya menyebar dan berkembang di wilayah pedalaman atau disebut Uluan. Menurut catatan salah seorang pengurus PWNU Sumsel, pada tahun 1936 cabang NU telah terbentuk

10 cabang di wilayah Uluan Palembang (baca: Sumatera Selatan), di antaranya di daerah Lahat dan Tebing Tinggi. Selanjutnya, cabang NU dibentuk juga di OKI dan OKU. Di zaman Jepang semua kegiatan organisasi keislaman dihentikan karena dilarang oleh Jepang.

BACA JUGA:  MWC NU Sukarami Gelar Pelatihan Mengurus Jenazah

Tersebarluasnya NU ke daerah di wilayah Uluan tidak terlepas dari peran penting para tokoh-tokoh MPII yang sekaligus menjadi pengurus NU. Di antara tokoh MPII yang juga turut berperan menyebarkan ke daerah Uluan, misalnya, KH Aboehasan bin Agoestjik dari Meranjat, KH Moehamad Zen yang berasal dari Muara Penimbung, KH Moelkan dan KH Hamdan dari Talang Balai, KH Rodji dari Tebing Gerinting.

Demikian pula di wilayah Ogan Komering  Ulu ada KH Djoeber dari Adumanis (sekarang  OKU Timur), KH Mardjoeki bin  Hasan  Mendajoen (sekarang OKU Timur), KH Kodir dari Cempaka (sekarang OKU Timur), Daoedmasri dari Menanga (sekarang OKU Timur).

Organisasi NU juga berkembang di beberapa daerah di Uluan, misalnya; KH Hasan Serapoelau dan KH Moehtar dari Muara Enim, KH  Mansoer dari Sungai Baung Rawas, KH Abdulwahid Lesoengbatoe Rawas, KH Moekti dan KH Moestopa dari  Sekayu (Musi Banyuasin), KH Kores Abdulkarim dari Tanjung Raman Tebingtinggi, KH Akip dan KH Said Akil bin Achmad Almenoear dari Baturaja,  KH  Achmad  dan KH Abdulhamid dari Kayu Agung.

Organisasi MPII merekrut ulama-ulama dari berbagai wilayah yang ada di Uluan dan ketika mereka kembali ke daerah masing-masing membentuk organsiasi NU. Demikian  pula  kalangan  terpelajar dari Uluan tidak sedikit yang belajar  agama  Islam yang dipusatkan Masjid Agung (guguk pengulon). Misalnya, KH. Umar memiliki murid, bernama KH. Malawi Husin dari Campang Tiga (OKU Timur), dan KH. Mukhtar dari Bengkulah (Komering).

Perjuangan para tokoh NU di Palembang (Iliran) dan daerah Uluan tentu sangatlah berat. Karena pada waktu yang bersamaan gerakan purifikasi (kelompok modernis/pembaru) yang nota bene-nya direpresenta- sikan oleh organisasi Muhammadiyah juga semakin gencar. Sebut saja, misalnya, Abdul Somad bin Abdul Muin, dan Hasan Basri bin Muhammad Amin yang berasal dari Muara Enim. Mereka adalah alumni dari Universitas Al-Azhar Kairo Mesir pulang pada awal April 1937.

BACA JUGA:  Muktamar Nahdlatul Ulama 1928

Hasan Basri Muhammad Amin yang berasal dari Muara Enim ini sebagai salah seorang contoh ulama (guru) yang membawa gagasan pembaharuan dalam Islam. Sebagaimana diketahui, sekembalinya  dari studi di Perguruan Islam Al-Azhar Kairo Mesir, ia segera didaulat untuk memberikan pidato di depan masyarakat Muara Enim oleh sebuah panitia yang sengaja dibentuk untuk acara penyambutan. Acara tersebut diselenggarakan pada hari Minggu, tanggal 11 April 1937 dan dihadiri oleh sebagian besar masyarakat Muara Enim.

Sebelum berpidato, oleh panitia disebutkan bahwa Hasan Basri merupakan seorang anak yang berasal dari Tungkal yang sebelumnya juga pernah belajar di Sekolah Perhimpunan Kaoem Moeslimin (PKM) di Muara Enim. Adapun yang menjadi  salah satu poin penting dalam pidato Hasan Basri tersebut adalah seruannya kepada umat Islam di Muara Enim untuk kembali kepada apa yang disebutnya “Islam Sejati” yakni Islam yang berazaskan pada al-Qur‟an dan al-Hadits agar mendapatkan kemenangan dan keselamatan dunia akhirat.

Tantangan NU cabang Palembang pada tahun 1937-an begitu berat dari kalangan Kaum Mudo. Dan pada saat didirikannya NU cabang Palembang tenaga intinya dari MPII sebab MPII secara otomatis menjadi gerakan NU. Seperti dikatakan KH. Mal An Abdullah bahwa jaringan MPII  merupakan  basis  pergerakan NU dan pada saat yang sama ketika KH Abubakar Bastari mendirikan “Persatoean Noeroel Falah” berbeda dengan madrasah-madrasah lainnya yang pernah ada, sehingga lulusan dari Nurul Falah itu menjadi ulama-ulama penting di  Palembang.  Pada saat Nurul Falah berdiri, KH Muhammad Daud Rusydi sudah kembali dari Mekkah. Jika KH Abubakar Bastari berhalangan mengadakan pengajian ke daerah, maka KH Muhammad Daud Rusydi yang menggantikannya.

Selanjutnya, KH Mal An Abdullah mengatakan bahwa perkembangan cabang NU di daerah (baca: Uluan) kelihatannya didirikan berbasis wilayah marga. Ini berbeda dengan cabang NU di kota Palembang. Misalnya, pengurus cabang NU Sakatiga artinya marga Sakatiga, pengurus NU di Pedamaran basisnya di marga Pedaraman, pengurus NU di Muara Enim basis marga Muara Enim, dan begitu pula di daerah-daerah lainnya. (Ali)

Check Also

Sowan ke Ketua PCNU Palembang, PMII UIN Raden Fatah Minta Kiai Hendra Berikan Materi Aswaja di Mapaba

NU Palembang Online – Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PK PMII) komisariat UIN Raden …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *