Anita Sari, Sm, Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga KOPRI PB PMII

Gerakan Perempuan dan Tantangan Melawan Patriarki di Era digital

NU Palembang Online – Artikel berjudul Gerakan Perempuan dan Tantangan Melawan Patriarki di Era Digital ini ditulis oleh Anita Sari, Sm, Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga KOPRI PB PMII.

Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Dunia kini bergerak dengan kecepatan informasi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, membuka berbagai peluang baru di bidang ekonomi, pendidikan, dan sosial. Namun, di balik peluang ini, terdapat dinamika sosial yang masih mempertahankan ketimpangan gender, termasuk dalam bentuk patriarki yang bertransformasi di ruang digital. Hal ini membuat perjuangan perempuan semakin kompleks, karena mereka harus menghadapi tantangan yang tidak hanya hadir di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya.

Patriarki bukanlah fenomena baru, tetapi ia memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Di era digital, patriarki mengambil bentuk baru melalui algoritma yang bias, pelecehan online, dan penguasaan teknologi oleh segelintir pihak. Fenomena ini menegaskan bahwa teknologi, meskipun menawarkan inklusivitas, juga dapat menjadi alat reproduksi ketidakadilan gender. Oleh karena itu, penting untuk melihat ruang digital bukan sebagai wilayah netral, tetapi sebagai medan baru di mana perjuangan untuk kesetaraan gender terus berlangsung.

Dalam konteks ini, gerakan perempuan menghadapi dilema besar. Di satu sisi, teknologi digital memberikan ruang untuk pemberdayaan dan solidaritas lintas batas. Di sisi lain, ruang tersebut juga penuh dengan jebakan struktural yang seringkali memperkuat ketimpangan yang ada. Bagaimana perempuan dapat memanfaatkan teknologi untuk melawan patriarki sekaligus memastikan ruang digital menjadi lebih adil dan inklusif? Pertanyaan ini menjadi pusat dari diskusi tentang gerakan perempuan di era digital.

Patriarki dalam Ruang Digital

BACA JUGA:  Gus Dur Adalah Anugerah dari Allah Untuk Indonesia dan Dunia

Teknologi digital menawarkan janji inklusivitas, tetapi ruang digital sering kali mereproduksi dan bahkan memperkuat struktur patriarki yang sudah ada. Dalam bukunya Data Feminism (2020), Catherine D’Ignazio dan Lauren F. Klein menjelaskan bagaimana data dan algoritma sering kali mencerminkan bias gender yang sistemik. Algoritma pencarian, misalnya, dapat memperkuat stereotip gender dengan menampilkan hasil yang lebih sering menempatkan perempuan dalam peran tradisional. Selain itu, survei oleh Amnesty International pada tahun 2018 menunjukkan bahwa perempuan, terutama mereka yang berasal dari kelompok marginal, lebih rentan mengalami kekerasan berbasis gender di media sosial, seperti pelecehan, ancaman kekerasan, dan ujaran kebencian.

Masalah-masalah lain yang kerap terjadi di ruang digital mencakup: Pertama Pelecehan Online: Perempuan yang aktif di media sosial sering menjadi sasaran trolling, doxing (penyebaran data pribadi tanpa izin), dan pelecehan seksual. Contohnya adalah kasus jurnalis Maria Ressa, yang menghadapi gelombang serangan digital karena keberaniannya mengkritik pemerintah.

Kedua ketimpangan Akses Teknologi: Di banyak negara berkembang, perempuan masih memiliki akses terbatas ke internet dan teknologi digital, sehingga memperburuk kesenjangan gender. Data dari ITU (International Telecommunication Union) menunjukkan bahwa pada tahun 2022, perempuan 17% lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki akses internet dibandingkan laki-laki.

Ketiga Eksploitasi Digital: Penyebaran konten intim tanpa persetujuan, atau revenge porn, menjadi bentuk kekerasan berbasis gender yang semakin marak. Contohnya adalah kasus “deepfake” yang memanipulasi wajah perempuan terkenal untuk membuat konten pornografi tanpa persetujuan mereka. Keempat Representasi yang Tidak Adil: Perempuan sering kali digambarkan secara stereotip dalam media digital dan iklan, memperkuat norma gender yang membatasi peran mereka dalam masyarakat.

Platform digital, meskipun memberikan ruang ekspresi baru, seringkali dikontrol oleh struktur kapitalisme patriarkal. Perempuan yang vokal, khususnya aktivis feminis, sering menjadi target serangan siber. Contohnya adalah kasus Malala Yousafzai, aktivis pendidikan perempuan, yang mengalami serangan digital berupa fitnah dan ujaran kebencian setelah menyuarakan hak perempuan untuk pendidikan. Hal ini menunjukkan bagaimana ruang digital bukanlah wilayah yang netral, melainkan medan pertempuran baru untuk keadilan gender.

BACA JUGA:  PCNU Palembang Beri Penghargaan 16 Tokoh/Instansi yang Berkontribusi Pada NU di Kota Palembang

Gerakan Perempuan dan Pemanfaatan Teknologi

Di sisi lain, teknologi digital juga memberikan peluang yang belum pernah ada sebelumnya bagi gerakan perempuan. Media sosial memungkinkan penyebaran informasi secara cepat, penggalangan solidaritas lintas batas negara, dan pengorganisasian aksi yang lebih efektif. Kampanye seperti #MeToo, yang dimulai oleh Tarana Burke pada tahun 2006 dan menjadi viral pada 2017, berhasil mengangkat pengalaman kekerasan seksual yang sebelumnya tersembunyi dalam narasi pribadi ke ranah publik. Dalam bukunya Feminism and Social Media (2022), Susanne Franks menegaskan bahwa media sosial dapat menjadi alat pemberdayaan yang kuat bagi perempuan, meskipun keberhasilannya sangat tergantung pada cara penggunaannya.

Namun, keberhasilan kampanye-kampanye ini juga menghadapi keterbatasan. Viralnya sebuah gerakan tidak selalu diikuti oleh perubahan struktural yang nyata. Sebagai contoh, meskipun #MeToo berhasil meningkatkan kesadaran global tentang kekerasan seksual, banyak institusi masih gagal melakukan reformasi yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi perempuan. Hal ini menunjukkan pentingnya menghubungkan kampanye digital dengan advokasi di dunia nyata.

Strategi Melawan Patriarki Digital

Untuk melawan patriarki di era digital, gerakan perempuan perlu mengadopsi pendekatan yang holistik dan strategis. Pertama, diperlukan upaya untuk memastikan inklusivitas teknologi. Ini berarti perempuan harus terlibat dalam desain dan pengembangan teknologi, sehingga algoritma dan platform digital tidak lagi mencerminkan bias gender. Dalam buku Algorithms of Oppression (2018), Safiya Umoja Noble menekankan pentingnya perspektif interseksional dalam pengembangan teknologi untuk mencegah diskriminasi yang terintegrasi dalam sistem digital.

BACA JUGA:  Raih Penghargaan Lintas Politika Award 2023, Ketua PC NU Palembang Bangga Atas Capaian Kadernya

Kedua, literasi digital harus menjadi prioritas dalam pemberdayaan perempuan. Dengan meningkatnya akses ke teknologi, perempuan harus dibekali kemampuan untuk menggunakan, memahami, dan mengontrol teknologi. Program-program pelatihan yang berfokus pada perempuan, terutama di wilayah pedesaan dan negara berkembang, menjadi langkah penting untuk menjembatani kesenjangan gender dalam penggunaan teknologi.

Ketiga, gerakan perempuan perlu mendorong regulasi yang tegas terhadap kekerasan berbasis gender di ruang digital. Negara harus memainkan peran aktif dalam melindungi perempuan dari ancaman siber, dengan menciptakan kebijakan yang melarang ujaran kebencian, pelecehan online, dan eksploitasi digital. Namun, regulasi saja tidak cukup; kolaborasi dengan platform teknologi untuk menciptakan sistem pelaporan yang lebih efektif juga sangat diperlukan.

Era digital memberikan peluang sekaligus tantangan baru bagi gerakan perempuan. Di satu sisi, teknologi telah membuka ruang baru untuk menyuarakan isu kesetaraan gender. Di sisi lain, ruang digital juga menjadi medan baru bagi patriarki untuk mempertahankan dominasinya. Oleh karena itu, perjuangan perempuan di era digital harus bersifat strategis, berkelanjutan, dan berakar pada solidaritas global.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh bell hooks dalam Feminism is for Everybody (2000), feminisme adalah perjuangan untuk membebaskan semua orang dari bentuk penindasan yang saling berhubungan. Dalam konteks era digital, perjuangan ini memerlukan keberanian untuk melawan patriarki dalam segala manifestasinya, sekaligus memanfaatkan teknologi sebagai alat pemberdayaan. Hanya dengan cara ini, gerakan perempuan dapat menciptakan dunia digital yang lebih adil dan setara bagi semua.

Check Also

KOPZIPS Ziarahi Trio Ulama Penggagas IAIN (UIN) Raden Fatah Palembang

NU Palembang Online – Sabtu sore, 22 Juni 2024, menjadi momen bersejarah bagi komunitas pecinta …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *